gitu dech,,,


Kamis, 27 Oktober 2011

Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Peradaban Dunia?


Bahasa merupakan media untuk menyampaikan pesan atau informasi dari satu individu kepada individu lain atau lebih. baik itu secara lisan maupun tulisan. Pernyataan tersebut sangat benar dan sudah menjadi aksioma. Satu orang pun tidak ada yang akan membantah dengan pernyataan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa, baik menggunakan bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa tubuh. Bahkan saat tidur pun terkadang kita tanpa sadar menggunakan bahasa.
Sebuah bangsa pasti memiliki bahasa, walaupun ada beberapa bangsa yang meminjam bahasa dari bangsa lain. Kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu Riau. Akan tetapi, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu adalah bahasa Melayu, dua bahasa yang serumpun tapi tidak sama. Bahasa Indonesia berkembang dengan sendirnya sesuai dengan aturannya, dan bahasa Melayu berdiri sendiri menuju perkembangannya. Setujukah Anda bila bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu?
Kita sebagai pemilik bahasa Indonesia bukanlah bermaksud atau bersikap seperti “kacang yang lupa akan kulitnya”, melupakan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Mungkin tanpa bahasa Melayu, bahasa Indonesia tidak akan pernah ada. Akan tetapi, kita ingin memposisikan bahasa Indonesia pada posisinya, seperti yang telah termaktub dalam Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda mengikrarkan tiga hal yang sakral dalam sejarah dan proses kemerdekaan Indonesia, satu diantaranya adalah “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Menjunjung berarti menurut, menaati dan memuliakan (KBBI). Menjunjung tinggi bahasa Indoensia, berarti menaati dan memuliakan bahasa Indonesia sebagai bahasa peratuan dan nasional Indonesia. Demikianlah sumpah yang diikrarkan oleh pemuda-pemudi bangsa Indonesia pada tahun 1928. Bagaimana dengan pemuda-pemudi Indonesia sekarang??
Melihat kondisi pemakai bahasa Indonesia sekarang, sepertinya cape deh harus menggunakan bahasa Indonesia yang berkelit dan selalu berpedoman kepada yang baik dan benar.
Yang penting apa yang ingin kita sampaikan orang mengerti dan paham, mau pake bahasa campur aduk kek, saya mau pake bahasa Indonesia campur bahasa Inggris kek,campur lagi dengan bahasa daerah kek, toh yang baca juga paham. Cape deh, please dong jangan diperbesar masalah-masalah kecil kayaki gini”.
Benar dan pantaskah bila kita sebagai pemilik bahasa Indonesia berasumsi demikian? Masyarakat Indonesia pada umumnya dwibahasawan. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa seenaknya mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa lain tanpa mengindahkan aturan dan kaidah yang ada. Bersikap positiflah terhadap bahasa Indonesia, karena bahasa yang kita gunakan menunjukkan kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia. Jepang dan Prancis adalah contoh negara yang sangat taat dan menghargai bahasanya sendiri.
Pernahkah kita berpikir bahasa Indonesia esok akan menjadi bahasa peradaban dunia?
Bukan hal yang mustahil bahasa Indonesia esok akan menjadi bahasa perdaban dunia, bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional. Dilihat dari struktur dan pembacaan bahasa Indonesia yang sangat sederhana, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang tidak sulit untuk dipelajari. Suatu bukti yang meyakinkan bila esok bahasa Indonesia akan menjadi bahasa peradaban dunia, lebih dari 50 negara di Dunia telah mempelajari dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu diantara mata pelajaran di sekolah mereka. Kita sebagai pemilik bahasa Indonesia harus banggga karena bahasa kita dipelajari bangsa lain. Mengapa kita harus belajar bahasa asing, bila bahasa kita kelak mampu menjadi bahasa Internasional dan bahasa peradaban dunia?
Jawaban dari pertanyaan tersebut ada pada diri kita sebagai pemilik dan pengguna bahasa Indonesia. Kita harus konsisten dan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebenarnya tidak sulit, yang membuat sulit karena kita telah terbiasa dengan kesalahan yang ada dan selalu cape’ untuk mempelajarinya dengan segala kerendahan hati. Kita selalu beranggapan, “untuk apa mempelajari bahasa Indonesia, bukankah kita orang Indonesia yang secara otomatis mengerti menggunakan bahasa Indonesia”. Bilamana pendapat ini terus berkembang, pupus sudah harapan kita menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perdaban dunia.
Hidup bahasa Indonesia!

Sabtu, 01 Oktober 2011

Chairil Anwar

Biography Chairil Anwar





Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”